Wednesday, June 07, 2006

Meresap ke Sumsum

Semarang ternyata tak hanya terkenal akan Bandengnya. Masakan khas semarangan lain yang juga kerap menjadi perbincangan adalah Gule Sum Sum. Ada juga yang menyebutnya Sup Sum-sum. Lezatnya, terasa sampai ke tulang sumsum. Pekan lalu saya dan kawan-kawan mencicipi Gule Sum Sum Warung Sate dan Gule 29 di jalan Sudirman, Semarang. Lokasinya di wilayah Oud Semarang, romantis dan memiliki sentuhan peradaban masa silam. Warungnya hanya berseberangan dengan Gereja Blenduk yang juga landmark dari kota Semarang. Gereja Blenduk adalah gereja prostestan tertua di Jawa Tengah yang dibangun pada tahun 1753. Kubahnya besar, dilapisi perunggu, dan di dalamnya terdapat sebuah orgel Barok. Gereja ini direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan gedung gereja ini. Nama Blenduk adalah julukan dari masyarakat setempat yang berarti kubah. Menurut cerita teman-teman, gereja ini masih dipergunakan untuk beribadah setiap hari Minggu. Kalau kita melihat wilayah sekitar Gereja ini terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda. Kondisinya sebagian masih terawat namun sebagian lainnya terbengkalai begitu saja. Sungguh sebuah penjelajahan yang menarik.

Oleh karenanya, mencicipi sate dan gule di warung 29, bukan sekedar penjelajahan kuliner tetapi juga penjelajahan ke masa silam. Ke masa peradaban Eropa di abad 17. Pauline van Roosmalen dalam papernya "Expanding Grounds.The Roots of Spatial Planning in Indonesia" menulis bahwa meski secara resmi perencanaan kota-kota di Indonesia baru dimulai pada tahun 1901 (melalui UU Otoda waktu itu), pembangunan awal kota-kota di wilayah pantai telah dilaksanakan sejak abad ke -17. Batavia, Semarang, dan Surabaya adalah wilayah yang dibangun pada saat bersamaan. Jadi, mencicipi menu makanan di warung Sate dan Gule 29 adalah sebuah kewajiban moral dan spiritual. Penjelajahan ke sebuah peradaban.

Menu yang wajib coba adalah Gule Sum Sum. Gule ini dibuat dari kaki kambing yang direbus bersama-sama ramuan tradisional antara lain sereh, kapulaga, dan kemiri. Rasanya segar didominasi rasa sereh. Aromanya membangkitkan selera makan. Kuahnya "gurih" dan tidak menggunakan santan. Gule Sumsumnya sangat enak. Dimasak dengan cara yang tepat sehingga sumsumnya tidak hancur dan bisa di”seruput” langsung dari dalam tulangnya. Seruputan sumsum dari dalam tulang rasanya begitu ”juicy” dan betul-betul mendegut ludah. Selain Gule Sumsum, jangan lupa juga mencicipi Sate Buntel yang lembut, tender, dan sangat "succulent" rasa daging cincangnya. Begitu juga dengan sate kambingnya yang dipotong besar-besar tapi dagingnya tetap terjaga ke"empuk"annya. Di Jakarta sebenarnya sudah mulai banyak resto yang menjual Gule Sumsum kalau kita "hanya" sekedar mencari sensasi lidah. Namun kalau ingin petualangan lengkap, cobalah Gule Sumsum di Semarang...

Monday, June 05, 2006

Kelezatan Kuliner Semarang

Tak lengkap cerita Semarang kalau tidak bicara tentang Bandeng dan dunia kuliner lainnya. Kalau kita pulang dari Semarang, coba perhatikan bawaan atau oleh-oleh orang dari sana. Hampir kebanyakan pasti menenteng oleh-oleh Bandeng Presto atau duri lunak. Kenikmatan Bandeng telah terkenal sejak zaman Belanda dulu. Bahkan dahulu kabarnya, bandeng hanya boleh dimakan oleh para petinggi Belanda dan priyayi di Indonesia. Bandeng hidup di air payau dan rasanya sangat gurih tanpa perlu dimasak dengan menggunakan bumbu macam-macam. Cukup digoreng atau dibakar saja sudah lezat rasanya. Tapi belakangan ini muncul kreativitas dalam memasak bandeng. Salah satunya adalah yang ditampilkan di R.M Kampung Laut, Semarang. Rumah Makan Kampung Laut terletak di kawasan pertambakan. Bangunannya terbuka, diberi atap-atap rumbai, dan disediakan fasilitas pemancingan bagi para tamunya. Kita boleh memancing ikan bandeng sendiri sebelum dimasak.

Siang itu saya mencicipi hidangan andalan Kampung Laut, yaitu Bandeng Kropok, Bandeng Bumbu Bali, dan Bandeng Goreng Garing. Semuanya menggunakan bahan dasar yang sama, bandeng bakar dan bandeng goreng. Finishingnya saja yang berbeda-beda. Bandeng kropok disajikan dengan petis dan kecap manis serta cabe merah yang diulek kasar. Sementara Bandeng Bumbu Bali menggunakan cabe merah, tomat, dan kecap manis. Cara menyajikannya cukup unik dan menarik. Sebelum digoreng atau dibakar, badan bandeng disayat tipis-tipis. Hal ini dilakukan agar ketika digoreng atau dibakar, bagian daging yang dalam begitu cepat matang dan garing (crispy). Di samping itu, penampilannya jadi lebih cantik dengan sayatan-sayatan tipis dibalur bumbu-bumbu. Selain di Kampung Laut, menurut kawan-kawan, restoran yang menyajikan bandeng juga adalah Baron. Bedanya kalau baron lebih fokus pada bandeng, sementara Kampung Laut juga menyediakan berbagai hidangan sea food lainnya seperti cumi-cumi, kepiting lada hitam, dll.

Selain mencicipi Bandeng di Kampung Laut, bila kita ingin mendapatkan pengalaman kuliner khas Semarang, silakan mampir ke Restoran ”Pesta Keboen”. Restoran yang terletak di jalan Veteran no 29 Semarang ini menjual keunikan dari "masa lalu". Papan nama restoran ditulis dengan ejaan lama: Pesta Keboen. Tak hanya itu, semua hal di dalam restoran ini dari nama menu hingga papan pengumuman, ditulis dengan ejaan ala van Ophyusen. Saat kita datang dan duduk, para pelayan yang ramah akan menyuguhi kita dengan welcome drink dan camilan berupa es beras kencur dan kudapan keripik singkong sambil menunggu main course datang.

Pesta Keboen menyediakan berbagai macam masakan, baik yang bercitarasa Eropa maupun Jawa, bahkan ada nama menu yang kebelanda-beladaan padahal kenyataannya adalah makanan asli Indonesia. Menu andalan restoran ini adalah ayam asap yang dimasak dengan cara membakar batang tebu. Asap tebal yang dihasilkan dari pembakaran itu membuat daging ayam berasa manis, dan aroma asap meresap hingga ke serat dagingnya. Menurut pegawai restoran, dibutuhkan waktu empat hari untuk memasak ayam asap. Selain itu, menu yang kita cicipi antara lain, burung dara goreng dan udang goreng saus tomat. Rasanya standar dan tidak istimewa. Tapi kalau ingin merasakan Semarang Tempo Doeloe, Pesta Kebon memang tempatnya. Datang ke sana, mencicipi makan malam bersama kekasih hati sungguh sebuah pengalaman yang perlu dicoba.