Meresap ke Sumsum

Oleh karenanya, mencicipi sate dan gule di warung 29, bukan sekedar penjelajahan kuliner tetapi juga penjelajahan ke masa silam. Ke masa peradaban Eropa di abad 17. Pauline van Roosmalen dalam papernya "Expanding Grounds.The Roots of Spatial Planning in Indonesia" menulis bahwa meski secara resmi perencanaan kota-kota di Indonesia baru dimulai pada tahun 1901 (melalui UU Otoda waktu itu), pembangunan awal kota-kota di wilayah pantai telah dilaksanakan sejak abad ke -17. Batavia, Semarang, dan Surabaya adalah wilayah yang dibangun pada saat bersamaan. Jadi, mencicipi menu makanan di warung Sate dan Gule 29 adalah sebuah kewajiban moral dan spiritual. Penjelajahan ke sebuah peradaban.
Menu yang wajib coba adalah Gule Sum Sum. Gule ini dibuat dari kaki kambing yang direbus bersama-sama ramuan tradisional antara lain sereh, kapulaga, dan kemiri. Rasanya segar didominasi rasa sereh. Aromanya membangkitkan selera makan. Kuahnya "gurih" dan tidak menggunakan santan. Gule Sumsumnya sangat enak. Dimasak dengan cara yang tepat sehingga sumsumnya tidak hancur dan bisa di”seruput” langsung dari dalam tulangnya. Seruputan sumsum dari dalam tulang rasanya begitu ”juicy” dan betul-betul mendegut ludah. Selain Gule Sumsum, jangan lupa juga mencicipi Sate Buntel yang lembut, tender, dan sangat "succulent" rasa daging cincangnya. Begitu juga dengan sate kambingnya yang dipotong besar-besar tapi dagingnya tetap terjaga ke"empuk"annya. Di Jakarta sebenarnya sudah mulai banyak resto yang menjual Gule Sumsum kalau kita "hanya" sekedar mencari sensasi lidah. Namun kalau ingin petualangan lengkap, cobalah Gule Sumsum di Semarang...
0 Comments:
Post a Comment
<< Home