Meresap ke Sumsum
Semarang ternyata tak hanya terkenal akan Bandengnya. Masakan khas semarangan lain yang juga kerap menjadi perbincangan adalah Gule Sum Sum. Ada juga yang menyebutnya Sup Sum-sum. Lezatnya, terasa sampai ke tulang sumsum. Pekan lalu saya dan kawan-kawan mencicipi Gule Sum Sum Warung Sate dan Gule 29 di jalan Sudirman, Semarang. Lokasinya di wilayah Oud Semarang, romantis dan memiliki sentuhan peradaban masa silam. Warungnya hanya berseberangan dengan Gereja Blenduk yang juga landmark dari kota Semarang. Gereja Blenduk adalah gereja prostestan tertua di Jawa Tengah yang dibangun pada tahun 1753. Kubahnya besar, dilapisi perunggu, dan di dalamnya terdapat sebuah orgel Barok. Gereja ini direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan gedung gereja ini. Nama Blenduk adalah julukan dari masyarakat setempat yang berarti kubah. Menurut cerita teman-teman, gereja ini masih dipergunakan untuk beribadah setiap hari Minggu. Kalau kita melihat wilayah sekitar Gereja ini terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda. Kondisinya sebagian masih terawat namun sebagian lainnya terbengkalai begitu saja. Sungguh sebuah penjelajahan yang menarik.
Oleh karenanya, mencicipi sate dan gule di warung 29, bukan sekedar penjelajahan kuliner tetapi juga penjelajahan ke masa silam. Ke masa peradaban Eropa di abad 17. Pauline van Roosmalen dalam papernya "Expanding Grounds.The Roots of Spatial Planning in Indonesia" menulis bahwa meski secara resmi perencanaan kota-kota di Indonesia baru dimulai pada tahun 1901 (melalui UU Otoda waktu itu), pembangunan awal kota-kota di wilayah pantai telah dilaksanakan sejak abad ke -17. Batavia, Semarang, dan Surabaya adalah wilayah yang dibangun pada saat bersamaan. Jadi, mencicipi menu makanan di warung Sate dan Gule 29 adalah sebuah kewajiban moral dan spiritual. Penjelajahan ke sebuah peradaban.
Menu yang wajib coba adalah Gule Sum Sum. Gule ini dibuat dari kaki kambing yang direbus bersama-sama ramuan tradisional antara lain sereh, kapulaga, dan kemiri. Rasanya segar didominasi rasa sereh. Aromanya membangkitkan selera makan. Kuahnya "gurih" dan tidak menggunakan santan. Gule Sumsumnya sangat enak. Dimasak dengan cara yang tepat sehingga sumsumnya tidak hancur dan bisa di”seruput” langsung dari dalam tulangnya. Seruputan sumsum dari dalam tulang rasanya begitu ”juicy” dan betul-betul mendegut ludah. Selain Gule Sumsum, jangan lupa juga mencicipi Sate Buntel yang lembut, tender, dan sangat "succulent" rasa daging cincangnya. Begitu juga dengan sate kambingnya yang dipotong besar-besar tapi dagingnya tetap terjaga ke"empuk"annya. Di Jakarta sebenarnya sudah mulai banyak resto yang menjual Gule Sumsum kalau kita "hanya" sekedar mencari sensasi lidah. Namun kalau ingin petualangan lengkap, cobalah Gule Sumsum di Semarang...
Oleh karenanya, mencicipi sate dan gule di warung 29, bukan sekedar penjelajahan kuliner tetapi juga penjelajahan ke masa silam. Ke masa peradaban Eropa di abad 17. Pauline van Roosmalen dalam papernya "Expanding Grounds.The Roots of Spatial Planning in Indonesia" menulis bahwa meski secara resmi perencanaan kota-kota di Indonesia baru dimulai pada tahun 1901 (melalui UU Otoda waktu itu), pembangunan awal kota-kota di wilayah pantai telah dilaksanakan sejak abad ke -17. Batavia, Semarang, dan Surabaya adalah wilayah yang dibangun pada saat bersamaan. Jadi, mencicipi menu makanan di warung Sate dan Gule 29 adalah sebuah kewajiban moral dan spiritual. Penjelajahan ke sebuah peradaban.
Menu yang wajib coba adalah Gule Sum Sum. Gule ini dibuat dari kaki kambing yang direbus bersama-sama ramuan tradisional antara lain sereh, kapulaga, dan kemiri. Rasanya segar didominasi rasa sereh. Aromanya membangkitkan selera makan. Kuahnya "gurih" dan tidak menggunakan santan. Gule Sumsumnya sangat enak. Dimasak dengan cara yang tepat sehingga sumsumnya tidak hancur dan bisa di”seruput” langsung dari dalam tulangnya. Seruputan sumsum dari dalam tulang rasanya begitu ”juicy” dan betul-betul mendegut ludah. Selain Gule Sumsum, jangan lupa juga mencicipi Sate Buntel yang lembut, tender, dan sangat "succulent" rasa daging cincangnya. Begitu juga dengan sate kambingnya yang dipotong besar-besar tapi dagingnya tetap terjaga ke"empuk"annya. Di Jakarta sebenarnya sudah mulai banyak resto yang menjual Gule Sumsum kalau kita "hanya" sekedar mencari sensasi lidah. Namun kalau ingin petualangan lengkap, cobalah Gule Sumsum di Semarang...