Tuesday, March 16, 2010

Tahun Baru di Kuil Meiji

Bagi masyarakat Jepang, tahun baru bukanlah momen pesta pora. Tahun baru justru dilalui dengan nafas syahdu. Berkumpul bersama keluarga dan berdoa, adalah kegiatan pokok masyarakat Jepang di tahun baru. Tak heran kalau perayaan tahun baru di Tokyo jarang sekali masuk dalam deretan kota-kota dunia yang diliput TV. Kalau New York, Paris, dan Sydney, merayakan pesta kembang api dengan gemerlap, Tokyo merayakannya zonder terompet dan mercon.

Di tahun baru, masyarakat Jepang yang mayoritas beragama Shinto, memadati kuil (shrine) yang banyak terdapat di setiap kota. Shinto adalah agama mayoritas dan tertua masyarakat Jepang yang juga dikenal dengan sebutan Kami-No-Michi atau Jalan Dewa (Ruh). Ajaran Shinto menyeimbangkan antara pikiran, perbuatan, serta kebersihan jiwa dan fisik. Selain kuil Shinto, kuil Buddha juga menjadi tujuan hampir seluruh penduduk, baik tua maupun muda. Mereka berkumpul bersama, dan saat detik tahun baru tiba, beramai-ramai melepas balon ke udara. Ribuan balon terbang ke angkasa membawa doa dan harapan, agar sang Dewa membaca dan mengabulkan permintaan mereka.

Salah satu kuil Shinto yang terkenal di kota Tokyo adalah Meiji Shrine yang terletak di daerah Harajuku. Di tahun baru, hampir 3 juta orang memadati kuil Meiji untuk mencari ketenangan jiwa. Saking padatnya para peziarah, untuk sampai ke kuil Meiji kita harus rela antri berjam-jam lamanya. Dan pada kerumunan berjuta orang itulah, saya merayakan tahun baru 2010 di kota Tokyo. Dalam gigitan angin musim dingin yang menusuk tulang, saya lebur dan hanyut mengikuti arus para peziarah di kuil Meiji.

Kuil Meiji dibangun pada masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan merupakan kuil Shinto tertua di Tokyo. Salah satu ciri khas dari kuil Shinto adalah pintu gerbang besarnya yang disebut Otorii. Pintu gerbang ini dibuat dari kayu Cypress (sejenis pohon cemara) yang dibawa dari Taiwan dan usianya lebih dari 1500 tahun. Sebelum memasuki Kuil ini, para peziarah umumnya membawa persembahan-persembahan yang diperuntukkan bagi para Dewa. Ada anak panah kayu, ada kertas uang dan berbagai simbol lain yang diserahkan pada sebuah gubug kecil sebelum memasuki gerbang kuil. Mereka percaya bahwa Dewa akan menerima persembahan itu dan memberi balasan yang setimpal. Tak jauh dari kuil itu, terdapat Naien Garden, sebuah taman yang konon merupakan replika surga firdaus di muka bumi. Taman itu dibangun oleh kaisar Meiji sebagai bukti cinta kepada sang permaisuri. Tamannya begitu indah karena berisikan segala jenis tanaman dari penjuru Jepang.

Masuk ke kuil Shinto harus mengikuti etika kuil. Pertama, para peziarah harus melalui otorii (pintu gerbang). Pintu gerbang itu menyimbolkan hijrahnya jiwa pada tingkatan yang lebih baik. Selanjutnya kita diharapkan menyucikan diri dengan air suci. Kita mencuci tangan, muka, dan meneguk sedikit air suci sebelum memasuki kuil. Dalam perjalanan masuk ke kuil, lemparkanlah koin pada beberapa gentong yang ada disana. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus melepaskan diri dari ikatan kekayaan dan harta benda duniawi. Setelah itu, di dalam kuil kita diminta menundukkan badan sebanyak dua kali, dan menepuk tangan sebanyak dua kali, atau membunyikan bel. Setelah itu menunduklah sekali lagi sebelum keluar. Etika ini perlu diikuti oleh para peziarah sebagai prasyarat menuju ketenangan jiwa.

Masyarakat Jepang yang tingkat kehidupan dan ekonominya jauh di atas kita, begitu “tahu diri” dalam menyambut pergantian tahun. Bukan dengan pesta pora, namun dengan takzim memadati kuil. Merenungkan kehidupan yang sudah berlalu, dan berharap mampu menapaki jalan ke depan dalam lindungan para Dewa. Tak hanya yang tua, namun kebanyakan justru generasi muda, keluarga dengan anak-anaknya, pasangan muda, bahkan para kekasih yang sedang memadu asmara. Mereka rela mengantri berjam-jam untuk merayakan tahun baru dengan syahdu. Kultur spiritual yang kuat memang menjadi kekuatan masyarakat Jepang. Saat dunia berubah dengan pesta pora, kultur ini tak luntur diterpa godaan.

Di negeri kita, awal tahun 2010 ditandai oleh banyak cobaan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kitapun masih berduka karena berpulangnya Gus Dur, yang kita cintai. Negeri kita sedang dirundung duka dan masalah yang belum usai. Oleh karenanya, kita bersedih melihat pesta pora perayaan tahun baru dengan mercon di mana-mana. Sungguh ironis.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home