Tuesday, March 16, 2010

Mabuk Teh Oplosan

Bagi orang Jawa, ritual minum teh tak serumit orang Jepang, China, atau Inggris yang penuh ritus, mengakar, dan kaya makna. Merek-merek teh ternama, seperti Twinning dan Dilmah, menyajikan “provenance” (daerah asal) teh jenis Assam, Darjeeling, Lady Grey, Earl Grey, dan aneka ragam varian lainnya yang mendunia dan melambangkan aristokrasi budaya minum teh.

Namun bagi orang Jawa, minum teh ..ya minum teh. They simply just drink tea. Waktu saya kecil, almarhum mbah buyut di Solo kerap membuat teh nasgitel di rumahnya. Nasgitel adalah akronim dari “panas legi kenthel”. Cara membuat tehnyapun non standar, alias menerabas rambu-rambu para pecinta teh. Kita tahu bahwa teh sangat volatil. Untuk itu, menyeduhnya perlu kehati-hatian. Biasanya, teh diseduh agar senyawa katekin, kafein, serta asam amino keluar secara maksimal sehingga cita rasa dan aroma teh lebih terasa. Menuangnya juga harus hati-hati, perlu ritual sendiri agar tidak merusak rasa.

Tapi buat si mbah, ia tak peduli aturan itu. Si mbah menggodok atau merebus air di atas kayu bakar. Menjerangnya dan menggodok teh secara langsung, bukan diseduh secara lembut. Dan menuangnyapun begitu saja seolah tanpa perasaaan, tak beda dengan menuang gayung di kamar mandi. Meski demikian, soal rasa teh si mbah, hmmm jangan tanya. Selain harum dan kental, aroma kayu bakar membuat bau sangit pada teh yang membuatnya lezaat.

Untuk merek teh favorit di Jawa, bermacam-macam. Ada teh Gardoe, teh 999, teh sepeda balap, teh Gopek, teh cap Nyapu, teh Sintren, dan aneka ragam merek lain yang sulit ditemukan di Jakarta, apalagi di luar negeri. Dan malam itu, di wedhangan Muji Rahayu, sang bartender teh membawa kembali kenangan teh kreasi mbah buyut. Sang bartender tampil menunjukkan kepiawaiannya menggodok dan meracik teh. Rasanya, kampung banget. Panas, Legi, dan Kenthel.

Kalau kita cecap secara lebih dalam lagi, cita rasa teh di berbagai warung di Solo tak pernah sama. Bahkan di setiap rumah juga demikian. Mengapa? Karena ternyata mereka melakukan oplosan atau blending dari berbagai merek teh yang ada. Bagi yang suka sepat, atau manis, atau warna merah, campurannya berbeda-beda sesuai selera. Di wedhangan Muji Rahayu, kombinasi yang dipakai adalah Teh Gardoe dan Teh Sintren. Keduanya di-blended dengan takaran tertentu sehingga menghasilkan cita rasa yang sepat, sangit, namun mantab. Oplosan lain yang terkenal adalah Teh Sintren dicampur Teh 999 atau Teh Nyapu dicampur Teh 999 dgn perbandingan 2:1. Ada juga campuran teh Gopek dengan Teh Nyapu, ataupun eksperimen lain sesuai dengan selera.

Bagi beberapa orang yang tidak terbiasa dengan teh oplosan, bablas ora enak tenan rasane, alias bakal terkaget-kaget dengan rasanya. Memang, teh seperti ini tak laku di Eropa dan dunia Global. Teh dari Indonesia tidak satupun yang dikenal memiliki “provenance” top. Jenis teh yang ada tersebut memang teh kualitas rendah. Teh tersebut dibuat bukan dari pucuk pilihan terbaik, bahkan ada yang dari batang-batang teh sisa. Sementara pucuk terbaik, diekspor atau bahkan diproduksi di luar negeri. Hal ini mengakibatkan harganya selalu menjadi sangat murah karena hanya dipakai sebagai oplosan atau pencampur teh. Proses meracik teh ala Indonesia juga tidak ada yang terkenal mendunia, meski Indonesia adalah produsen teh nomer 6 didunia.

Meski teh oplosan Jawa adalah teh yang terpinggirkan dari dunia teh global, bagi saya mereka tetap jagoan. Mereka terpinggirkan bukan karena kesalahannya. Itu soal selera. Oleh karenanya, di hari terakhir kami di Solo, kami mampir ke toko “Sami Luwes” yang menyediakan aneka teh Jawa. Kami memborong aneka merek teh kampung yang sulit diperoleh di Jakarta. Kita bertekad untuk meng-oplos teh, dan Mabuk Teh Oplosan. Selamat meng-oplos.





Labels: ,

1 Comments:

Blogger Indah Nurani said...

salam kenal...ehm cerita yang menarik.emang minum teh oplos bisa mabuk ya?

7:10 PM  

Post a Comment

<< Home