Bengkulu Kota Pembuangan
Babakan Bengkulu adalah babakan sebuah ironi. Dari sebuah daerah penghasil lada yang besar hingga menjadi kota dimana pembangunan berjalan lambat. Kala kota-kota lain di Indonesia berusaha melesak maju dalam gerak zaman, Bengkulu masih berada di garis belakang pembangunan. Beberapa waktu lalu, saya berada di Bengkulu untuk menapaki makna historis kota ini. Setelah rangkaian perjalanan menuju Desa Mukomuko untuk melihat kampung penduduk yang terkena gempa bumi, saya melintasi denyut kehidupan Bengkulu.
Memang, dunia berjalan lambat dan ogah-ogahan di Bengkulu. Posisi geografisnya yang terpencil membuat kondisi kota ini sangat tidak diuntungkan. Bengkulu terasing dari jalur lalu lintas perdagangan. Jalur darat, laut, dan udara masih sangat minimal. Penerbangan hanya ada ke Jakarta. Itu artinya, kalau kita hendak ke Palembang harus melalui Jakarta terlebih dahulu. Padahal jarak Bengkulu-Palembang tak ada sepertiga Bengkulu-Jakarta. Akibat keterasingan ini penduduk Bengkulu rata-rata inward looking.
Tak heran Bengkulu dahulu menjadi tempat pembuangan para tokoh dan pejuang kemerdekaan. Abad ke 19 Sentot Alibasah, panglima tentara Diponegoro dalam perang Jawa (1825-1830), yang menyerah pada Belanda, dibuang ke Bengkulu dan meninggal dunia di sana. Abad ke 20 Ir Soekarno dibuang ke Bengkulu dari tahun 1938 hingga 1942. Saya berkesempatan mengunjungi rumah bekas pembuangan Soekarno di Anggut Atas, agak pinggiran kota waktu itu. Rumah itu kini dijadikan museum dan di sebelahnya dibangun sebuah gedung pertemuan yang cukup besar. Dahulu, bisa dibayangkan, rumah ini tersisih dari rumah tetangga lainnya. Hal ini dilakukan agar pihak penguasa Belanda lebih mudah melakukan pengawasan. Di rumah ini, Bung Karno bergabung dengan Muhammadiyah dan ia mengajar di sekolah Muhammadiyah. Di Bengkulu ini pula, Bung Karno mulai menjalin hubungan asmara dengan Fatmawati, yang kemudian menjadi istri ketiga, sesudah Utari dan Inggit. Selain mengajar, di Bengkulu Bung Karno juga membentuk sebuah perkumpulan tonil. Beberapa kostum tonil masih ditampilkan di rumah tersebut. Rumah ini juga masih menyimpan rak buku dan kumpulan buku dari Bung Karno yang pada saat itu terkenal memiliki bibliotik paling besar di Bengkulu.
Banyak kisah tentang Soekarno di kota ini. Warga Bengkulu juga menjadikan patahan sejarah tersebut sebagai sebuah kebanggaan kota. Bahwa Bengkulu pernah menjadi bagian penting dari pergerakan perjuangan kemerdekaan RI. Namun, hampir 70 tahun telah berlalu kemerdekaan itu, Bengkulu masih seperti yang dulu. Ia seperti terabaikan atau tersisihkan, ia hanya bagian dari cerita yang masih berada di garis belakang pembangunan.
Labels: Bengkulu, Bung Karno
2 Comments:
Tulisannya menyentuh....
salam kenal
Salam kenal juga mas. Terima kasih.
Post a Comment
<< Home