Tokyo Redux
Tokyo bukanlah jenis kota yang saya suka, apalagi saat musim dingin tiba. Saat kita menelusuri jalan-jalan kota Tokyo, selalu muncul kesan yang sama. Desir angin menerpa wajah-wajah tegang penduduk Tokyo. Ciri khas pekerja keras. Tanpa ekspresi, tanda depresi. Bangunan gelas kaca menjulang tinggi tanpa senyum. Mobil-mobil mewah melaju angkuh tak tersentuh. Kamar hotel ukuran doll house-sized (ingat rumah2an boneka Barbie?) menambah ironi itu. Saat malam tiba, lampu terang benderang menerawang dengan pemandangan yang hampir sama. Pachinko parlors, hostess bar, yakitori joint, dan rumah-rumah pelacuran, bertebaran di sepanjang distrik, seperti yang terlihat di daerah Shinjuku, Roponggi, ataupun Ginza. Kalau diandaikan sebuah film, Tokyo adalah trailer film yang bergerak cepat. Jalanannya ribut. Klakson mobil berdentam. Orang-orang mudanya berpakaian aneh (rambut mereka dicat warna warni, celana jadi baju, baju jadi celana, biasa dikenal dengan gaya harajuku), acara TV-nya nyaris tak bisa dimengerti, penuh teriak tanpa arti. Film pornonya...oops... terburuk sedunia, orgy screaming-nya sungguh menyedihkan. Tanpa juntrungan (rasanya ini adalah the worst porn movie i've ever seen). Membuat film porno Jerman tampak lebih manusiawi (mohon maaf atas keterus terangan saya dalam mengamati khazanah film porno ini).
Tetapi di balik semua itu. Dari perspektif seorang pecinta makanan, siapa yang peduli? Karena saya datang ke Tokyo untuk MAKAN. Yup, sekali lagi, untuk MAKAN. Ketika kita duduk di meja makan, tak ada yang lebih indah dan penuh seni daripada meja makan orang Jepang. Jadi, sejak hari pertama mengunjungi Tokyo, saya menjelajahi jalan-jalan kecil, berbagai stasiun, berbagai distrik, tak lain tak bukan, hanya untuk mencari makanan yang nikmat. Mungkin itulah misi yang diberikan Tuhan pada kunjungan kali ini ke Tokyo (Lord has ordered me a quest for a perfect meal –Anthony Bourdain, A Cook’s Tour, Bloomsbury 2002). Jadi, kalau anda mampir ke Tokyo dan “hanya” makan McDonald (maku dona duro – kata orang Jepang), anda termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kufur nikmat.
Petualangan pertama adalah menjelajahi warung Soba, Udon, dan Ramen. Warung-warung kaki lima yang menjual jenis makanan ini banyak terdapat di stasiun-stasiun metro kota Tokyo. Rasanya nikmat, kuahnya segar dan menghangatkan badan. Tepat sekali dicoba di musim dingin yang menusuk. Makanan selanjutnya yang layak coba juga adalah jenis rebus-rebusan, seperti Shabu-shabu (meski bukan makanan asli Jepang, tapi makanan ini cukup favorit). Di daerah Meguro ada satu restoran yang juga jadi favorit teman-teman Indonesia, namanya Oyanasai yang artinya sayur-sayuran. Perjalanan selanjutnya adalah mencicipi makanan seperti Unagidon (belut air tawar yang disajikan bersama nasi) dan Tendon (nasi putih dalam mangkok yang diletakkan satu, dua ekor tempura udang yang telah dicelupkan ke dalam kuah shoyu. Kuahnya disiram sedikit di atas nasi). Rasa daging belut ataupun tempuranya sungguh begitu lembut dan gurih di lidah. Akhirnya, anda belum sempurna dan belum sah rukunnya, kalau datang ke Tokyo tetapi belum mencicipi sushi ataupun sashimi. Jepang adalah sebuah kisah tentang ikan. It’s all about fish, fish, fish. Kalau anda suka ikan, maka anda akan cinta Jepang. Warung sashimi bertebaran di berbagai distrik di Jepang. Saya mencoba yang terenak di daerah Shinjuku. Ikannya segar dari kualitas terbaik yang pernah saya coba. Tuna, salmon, cumi-cumi, ada dalam bentuk terbaiknya.
Pencarian akan makanan enak di Tokyo adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Kelelahan berpindah-pindah kereta seakan menguap begitu mereguk dan mencecap cita rasa berbagai makanan tersebut. Sungguh menyentuh jiwa dan pikiran, dengan segenap otentisitasnya. Tepat kiranya tulisan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1949 tentang makanan, yang mengambil metafor sepiring Gado-gado. Saya kutipkan sebagai penutup.
”Gado-gado, seperti djuga makanan lain, riwajat rasanja hanjalah antara bibir dan tenggorokan. Gado-gado ini djuga demikian pula adanja. Ia akan hilang setelah lepas dari pantjaindera. Tapi ia akan hidup sebagai awan berarak ditempurung langit dalam kenanganku.”
Tetapi di balik semua itu. Dari perspektif seorang pecinta makanan, siapa yang peduli? Karena saya datang ke Tokyo untuk MAKAN. Yup, sekali lagi, untuk MAKAN. Ketika kita duduk di meja makan, tak ada yang lebih indah dan penuh seni daripada meja makan orang Jepang. Jadi, sejak hari pertama mengunjungi Tokyo, saya menjelajahi jalan-jalan kecil, berbagai stasiun, berbagai distrik, tak lain tak bukan, hanya untuk mencari makanan yang nikmat. Mungkin itulah misi yang diberikan Tuhan pada kunjungan kali ini ke Tokyo (Lord has ordered me a quest for a perfect meal –Anthony Bourdain, A Cook’s Tour, Bloomsbury 2002). Jadi, kalau anda mampir ke Tokyo dan “hanya” makan McDonald (maku dona duro – kata orang Jepang), anda termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kufur nikmat.
Petualangan pertama adalah menjelajahi warung Soba, Udon, dan Ramen. Warung-warung kaki lima yang menjual jenis makanan ini banyak terdapat di stasiun-stasiun metro kota Tokyo. Rasanya nikmat, kuahnya segar dan menghangatkan badan. Tepat sekali dicoba di musim dingin yang menusuk. Makanan selanjutnya yang layak coba juga adalah jenis rebus-rebusan, seperti Shabu-shabu (meski bukan makanan asli Jepang, tapi makanan ini cukup favorit). Di daerah Meguro ada satu restoran yang juga jadi favorit teman-teman Indonesia, namanya Oyanasai yang artinya sayur-sayuran. Perjalanan selanjutnya adalah mencicipi makanan seperti Unagidon (belut air tawar yang disajikan bersama nasi) dan Tendon (nasi putih dalam mangkok yang diletakkan satu, dua ekor tempura udang yang telah dicelupkan ke dalam kuah shoyu. Kuahnya disiram sedikit di atas nasi). Rasa daging belut ataupun tempuranya sungguh begitu lembut dan gurih di lidah. Akhirnya, anda belum sempurna dan belum sah rukunnya, kalau datang ke Tokyo tetapi belum mencicipi sushi ataupun sashimi. Jepang adalah sebuah kisah tentang ikan. It’s all about fish, fish, fish. Kalau anda suka ikan, maka anda akan cinta Jepang. Warung sashimi bertebaran di berbagai distrik di Jepang. Saya mencoba yang terenak di daerah Shinjuku. Ikannya segar dari kualitas terbaik yang pernah saya coba. Tuna, salmon, cumi-cumi, ada dalam bentuk terbaiknya.
Pencarian akan makanan enak di Tokyo adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Kelelahan berpindah-pindah kereta seakan menguap begitu mereguk dan mencecap cita rasa berbagai makanan tersebut. Sungguh menyentuh jiwa dan pikiran, dengan segenap otentisitasnya. Tepat kiranya tulisan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1949 tentang makanan, yang mengambil metafor sepiring Gado-gado. Saya kutipkan sebagai penutup.
”Gado-gado, seperti djuga makanan lain, riwajat rasanja hanjalah antara bibir dan tenggorokan. Gado-gado ini djuga demikian pula adanja. Ia akan hilang setelah lepas dari pantjaindera. Tapi ia akan hidup sebagai awan berarak ditempurung langit dalam kenanganku.”
1 Comments:
hobinya jalan2 ya pak..^_^
Post a Comment
<< Home