Lidah Menari Bersama Kepiting Kenari
Pekan lalu saya mencoba kelezatan kepiting kenari di Ternate. Lezatnya memang luar biasa. Saya pikir para penggemar kepiting pasti sepakat bahwa tidak ada satu kepitingpun yang melebihi kelezatan kepiting kenari. Tak juga Singapore Chili Crab yang pernah saya bahas di forum ini beberapa waktu lalu. Namun di satu sisi, nomenklatur kepiting kenari dalam khazanah kuliner kita memang membingungkan. Dalam kesepakatan zoologis, kepiting ialah jenis-jenis ketam yang hidup di air, baik air laut maupun air tawar. Kepiting tidak mati tenggelam kalau kejeblos ke dalam air karena bernapas dengan insang seperti ikan. Kepiting hidup di dua alam.
Tapi kepiting kenari tidak hidup di air. Justru ia telah menyesuaikan diri untuk hidup di darat. Kalau tercebur ke air, ia justru megap-megap dan mati tenggelam. Mungkin lebih cocok kalau ia disebut kelomang atau ketam. Kesalahan pemahaman kedua adalah bahwa kepiting kenari tidak pernah memakan kenari, tetapi kelapa. Namun karena di kawasan Maluku masyarakat telah mengenalnya dengan nama Kepiting Kenari, nama itu tetap dipakai hingga kini. Ketam kenari hidup di pantai dekat laut, tetapi kadang juga dapat ditemukan di daerah yang jauh (sampai 100 m di atas permukaan laut) ke arah pedalaman. Penyebarannya berkaitan dengan penyebaran tanaman kelapa. Mungkin karena binatang itu senang sekali makan buah kelapa. Walaupun sudah dilindungi oleh undang-undang yang melarang penangkapan mereka, masyarakat memperjualbelikan mereka sebagai santapan yang istimewa lezatnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Undang-undang karena larangan menangkap dan memperjualbelikan kepiting kenari itu berlaku di kawasan suaka alam, seperti Togian di Sulawesi Utara. Ia tidak berlaku di daerah lain yang tidak dinyatakan sebagai kawasan suaka alam.
Makanan utama kepiting kenari adalah buah kelapa, sampai ia sering disebut pencuri kelapa. Orang Inggris menyebutnya robber crab karena menganggap ketam itu mencuri kelapa pada malam hari, ketika pemilik pohon sedang tidur lelap. Ia memang mahir memanjat kelapa, dengan ujung kakinya yang runcing sebagai tangan pemeluk batang, sampai setinggi 20 m untuk memetik buah. Menurut cerita rakyat setempat, kalau sudah berhasil memetik buah kelapa, ia akan menjatuhkan buah itu ke tanah dan turun dulu untuk menguliti buah dengan capitnya yang luar biasa kuatnya. Sesudah dikuliti, buah akan dibawa lagi naik pohon, dan dari atas pohon buah itu dijatuhkan ke tanah agar pecah. Barulah ia turun lagi untuk makan buah yang sudah pecah. Ia tidak pernah makan buah di atas pohon.
Memakan kepiting kenari adalah sebuah pengalaman kuliner yang mengasyikkan. Dagingnya begitu tebal dan generous. Berbeda dengan kepiting yang pada umumnya hanya berdaging di sekitar capitnya, kepiting kenari justru bertebaran daging di setiap bagian tubuhnya, terutama di dada. Hampir di setiap sudut tulangnya berisikan daging yang gurih dan lezat. Menurut juru masak, kepiting kenari ini harus diolah hidup-hidup. Sebab bila sudah mati, ia akan menjadi racun. Namun kondimen dalam makan kepiting kenari menurut saya belum pas, hanya kecap asin dan saus kecap, sehingga rasanya menjadi kurang optimal. Mungkin ke depan perlu dipikirkan saus yang cocok, misalnya chili crab atau saus padang. Dari sisi harga, Kepiting Kenari ini cukup mahal, mungkin karena langka. Di Ternate kemarin, harganya sekitar Rp 175.000,- - Rp 200.000,- seekor, tergantung besarnya ketam dan cara memasaknya. Tetapi karena merupakan hidangan istimewa, ia masih saja dapat dijumpai di berbagai restoran mahal di Manado, Balikpapan, Ternate, dan Jakarta. Jadi, tunggu apa lagi. Kalau ada kesempatan menyantap kepiting atau kelomang atau ketam, apapun namanya, kenapa tidak? Yuuuk…..
Tapi kepiting kenari tidak hidup di air. Justru ia telah menyesuaikan diri untuk hidup di darat. Kalau tercebur ke air, ia justru megap-megap dan mati tenggelam. Mungkin lebih cocok kalau ia disebut kelomang atau ketam. Kesalahan pemahaman kedua adalah bahwa kepiting kenari tidak pernah memakan kenari, tetapi kelapa. Namun karena di kawasan Maluku masyarakat telah mengenalnya dengan nama Kepiting Kenari, nama itu tetap dipakai hingga kini. Ketam kenari hidup di pantai dekat laut, tetapi kadang juga dapat ditemukan di daerah yang jauh (sampai 100 m di atas permukaan laut) ke arah pedalaman. Penyebarannya berkaitan dengan penyebaran tanaman kelapa. Mungkin karena binatang itu senang sekali makan buah kelapa. Walaupun sudah dilindungi oleh undang-undang yang melarang penangkapan mereka, masyarakat memperjualbelikan mereka sebagai santapan yang istimewa lezatnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Undang-undang karena larangan menangkap dan memperjualbelikan kepiting kenari itu berlaku di kawasan suaka alam, seperti Togian di Sulawesi Utara. Ia tidak berlaku di daerah lain yang tidak dinyatakan sebagai kawasan suaka alam.
Makanan utama kepiting kenari adalah buah kelapa, sampai ia sering disebut pencuri kelapa. Orang Inggris menyebutnya robber crab karena menganggap ketam itu mencuri kelapa pada malam hari, ketika pemilik pohon sedang tidur lelap. Ia memang mahir memanjat kelapa, dengan ujung kakinya yang runcing sebagai tangan pemeluk batang, sampai setinggi 20 m untuk memetik buah. Menurut cerita rakyat setempat, kalau sudah berhasil memetik buah kelapa, ia akan menjatuhkan buah itu ke tanah dan turun dulu untuk menguliti buah dengan capitnya yang luar biasa kuatnya. Sesudah dikuliti, buah akan dibawa lagi naik pohon, dan dari atas pohon buah itu dijatuhkan ke tanah agar pecah. Barulah ia turun lagi untuk makan buah yang sudah pecah. Ia tidak pernah makan buah di atas pohon.
Memakan kepiting kenari adalah sebuah pengalaman kuliner yang mengasyikkan. Dagingnya begitu tebal dan generous. Berbeda dengan kepiting yang pada umumnya hanya berdaging di sekitar capitnya, kepiting kenari justru bertebaran daging di setiap bagian tubuhnya, terutama di dada. Hampir di setiap sudut tulangnya berisikan daging yang gurih dan lezat. Menurut juru masak, kepiting kenari ini harus diolah hidup-hidup. Sebab bila sudah mati, ia akan menjadi racun. Namun kondimen dalam makan kepiting kenari menurut saya belum pas, hanya kecap asin dan saus kecap, sehingga rasanya menjadi kurang optimal. Mungkin ke depan perlu dipikirkan saus yang cocok, misalnya chili crab atau saus padang. Dari sisi harga, Kepiting Kenari ini cukup mahal, mungkin karena langka. Di Ternate kemarin, harganya sekitar Rp 175.000,- - Rp 200.000,- seekor, tergantung besarnya ketam dan cara memasaknya. Tetapi karena merupakan hidangan istimewa, ia masih saja dapat dijumpai di berbagai restoran mahal di Manado, Balikpapan, Ternate, dan Jakarta. Jadi, tunggu apa lagi. Kalau ada kesempatan menyantap kepiting atau kelomang atau ketam, apapun namanya, kenapa tidak? Yuuuk…..
1 Comments:
otherwise known Coconut Crab is the world's largest terrestrial arthropods
bandar togel online terpercaya di indonesia
Post a Comment
<< Home