Tuesday, March 14, 2006

Tambunsu yang tak dapat diperdebatkan

Degustibus non est disputandum, selera tak dapat diperdebatkan. Begitu kata seorang kawan yang pernah kuliah filsafat. Dalam berbicara soal makanan, kita akan terbawa ke dalam ruang yang bernama selera. Ruang itu bisa sangat subyektif. Salah satu contoh adalah kalau saya pergi ke Bukittinggi. Setelah perjalanan dua jam dari Padang, saya biasanya langsung mampir ke Pasar Ateh (Atas) untuk nongkrong di lepau Nasi Kapau Uni Lis. Meski istri saya orang Minang, setiap diajak ke sana ia selalu menolak dengan halus. Beda Selera katanya. Ini tentu tak boleh diperdebatkan. Tapi karena saya pecinta berat masakan padang, terpaksa saya duduk sendiri di hadapan Uni Lis.


Suasana di Lepau Uni Lis sungguh luar biasa eksotis. Uni duduk dengan anggun di hadapan pasu-pasu yang berisi gulai beraneka masakan. Aromanya mendegut ludah. Tools andalan yang digunakan oleh Uni adalah sudu tempurung bergagang panjang. Dengan itu, ia bisa menjangkau seluruh masakan yang ada di depannya. Cara menyendoknya saja sudah sangat eksotis, membuat kita tertegun sambil meneguk-neguk liur. Ada rendang yang kental lemak, ikan ame (emas) gulai, gulai paku (daun pakis) yang khas Minang, dan semur jengkol favorit mertua saya.


Tapi yang paling jagoan dan menjadi favorit saya adalah Tambunsu. Inilah makanan para raja, atau yang merasa raja. Tambunsu adalah gulai usus sapi. Ususnya dicuci dan dibersihkan kemudian diisi dengan tahu dan telor yang sudah digiling. Dahsyat rasanya. Puncak kenikmatan. Karena usus ini panjang dan melilit-lilit, uni menggunakan gunting besar untuk memotong ke dalam ukuran kecil. Dimakan bersama nasi hangat, daun singkong, dan gulai paku. Tambunsu adalah sebuah kenikmatan. Ia memang memerlukan pembiasaan, acquired taste. Degustibus non debustandum, selera memang tak bisa diperdebatkan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home