Misteri Kecantikan Tehran
Festival awan menggantungi lelehan salju, di puncak gunung Damavand.
Suara merdu pemain harpa menyanyikan lagu-lagu cinta bangsa Persia.
Kelindan karpet menggambarkan kisah asmara para pecinta.
Menambah indah langit biru, menambah sendu birunya hati, menambah dalam kerinduan,
yang sudah teramat sangat…. (Tehran 2005)
Mendengar nama Tehran, ibukota Iran, bukan bayangan kecantikan yang terlintas dalam pikiran. Tapi bayangan kota yang kumuh, lalu lintas yang kacau, sikap anti Amerika, aturan yang ketat, isu nuklir, dan lain-lainnya. Namun saat saya larut dalam irama syahdu kota Tehran, pandangan itu berubah. Tehran adalah kota yang menarik, meski lalu lintasnya separah Jakarta. Mungkin karena lirikan gadis-gadis cantik Persia yang mondar-mandir saat saya duduk-duduk di kafe Esteghlal Hotel. Mungkin karena alunan harpa para seniman kota yang mendayu-dayu. Mungkin karena pemandangan gunung Damavandnya yang indah dengan selimut salju di puncaknya. Mungkin karena cantiknya kelindan karpet Persia. Mungkin juga karena cuacanya yang nyaman. Nama Tehran sendiri berasal dari bahasa Persia Kuno “teh ran”, artinya “tempat yang hangat”. Selain kehangatan pandangan wanita Persia tadi, Tehran yang memiliki empat musim memang dikatakan hangat, baik pada musim panas, ataupun musim dingin yang seringkali bersalju.
Nama Tehran atau Iran tak pernah bisa dilepaskan dari nama Ayatollah Khomeini. Perannya sangat besar dalam menjadikan Iran menjadi seperti saat ini. Ada perbedaan yang mencolok apabila kita ingin membandingkan Iran di bawah Ayatollah dan Irak di bawah Saddam Husein. Secara pribadi, Ayatollah adalah orang yang sederhana. Hal ini dapat dilihat di Museum Ayatollah Khomeini di daerah Jamaran, Tehran Utara. Ia yang memimpin Iran selama 10 tahun, di saat akhirnya hanya memiliki sepatu tua, jubah sederhana, sebuah kacamata, sebotol parfum, dan satu tongkat, di rumahnya yang sempit. Sebaliknya, di masa akhir Saddam Husein, ia meninggalkan istana dengan isinya yang mewah. Dan saat terjadi kerusuhan di Irak, banyak peninggalan bersejarah yang ikut dijarah. Barang antik, artefak kuno, hilang entah kemana. Tapi di Tehran, Ayatollah mengirimkan pasukan terbaiknya untuk menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah, termasuk milik Shah Iran yang digulingkannya.
Hal itu terbukti saat kawan dari KBRI Tehran (Bapak Iqbal dan Bapak Siradjuddin)mengajak untuk mengunjungi Museum Saadabad Palace. Museum seluas 410 hektar ini dahulu dihuni oleh Shah Iran beserta keluarganya. Di dalamnya terdapat 18 istana yang memuat berbagai kekayaan Shah Iran, mulai dari perhiasan, kendaraan mewah, karpet Persia, dan lainnya. Setelah Revolusi, Istana ini diubah fungsinya menjadi museum. Semua isi istana tersebut saat ini masih ada dan terawat dengan rapi.
Keunikan lain dari Tehran adalah ketertutupan ekonominya. Jangan harap melihat McDonalds, KFC, atau chain resto amerika disini. Sebagian besar restoran adalah versi lokal. Resto asing yang banyak di sini adalah restoran Perancis. Saya sempat mampir di salah satu restoran Prancis, namanya L’entrecote de Tehran. Menu makanannya sama dengan restoran perancis lainnya. Hanya rasanya yang tidak begitu mirip. Mungkin disesuaikan dengan lidah orang Iran. Resto itu juga tidak menyediakan wine, hanya ada bir Islam. Serupa dengan bir tapi non alkohol. Ketertutupan ekonomi Iran juga dapat dilihat dari tidak bisa digunakannya semua jenis kartu kredit internasional. Semua transaksi harus menggunakan kas. Transfer dana dari dan ke luar negeri melalui Bank juga tidak dapat dilakukan. Bank-bank di Iran hanya melayani transaksi lokal. Yang juga merepotkan, telepon seluler tak bisa digunakan. Iran hanya memiliki satu jaringan telpon seluler yang harganyapun sangat mahal. Kartu telpon saja harganya dapat mencapai Rp.10 juta. Akibatnya, tak banyak kita melihat orang menggunakan telpon seluler.
Tapi terlepas dari berbagai hal tersebut, Tehran tetap menyimpan misteri. Misteri yang hanya bisa dirasakan oleh mereka para petualang kehidupan, para pecinta, para kekasih, yang mendambakan cinta sejati …..
Suara merdu pemain harpa menyanyikan lagu-lagu cinta bangsa Persia.
Kelindan karpet menggambarkan kisah asmara para pecinta.
Menambah indah langit biru, menambah sendu birunya hati, menambah dalam kerinduan,
yang sudah teramat sangat…. (Tehran 2005)
Mendengar nama Tehran, ibukota Iran, bukan bayangan kecantikan yang terlintas dalam pikiran. Tapi bayangan kota yang kumuh, lalu lintas yang kacau, sikap anti Amerika, aturan yang ketat, isu nuklir, dan lain-lainnya. Namun saat saya larut dalam irama syahdu kota Tehran, pandangan itu berubah. Tehran adalah kota yang menarik, meski lalu lintasnya separah Jakarta. Mungkin karena lirikan gadis-gadis cantik Persia yang mondar-mandir saat saya duduk-duduk di kafe Esteghlal Hotel. Mungkin karena alunan harpa para seniman kota yang mendayu-dayu. Mungkin karena pemandangan gunung Damavandnya yang indah dengan selimut salju di puncaknya. Mungkin karena cantiknya kelindan karpet Persia. Mungkin juga karena cuacanya yang nyaman. Nama Tehran sendiri berasal dari bahasa Persia Kuno “teh ran”, artinya “tempat yang hangat”. Selain kehangatan pandangan wanita Persia tadi, Tehran yang memiliki empat musim memang dikatakan hangat, baik pada musim panas, ataupun musim dingin yang seringkali bersalju.
Nama Tehran atau Iran tak pernah bisa dilepaskan dari nama Ayatollah Khomeini. Perannya sangat besar dalam menjadikan Iran menjadi seperti saat ini. Ada perbedaan yang mencolok apabila kita ingin membandingkan Iran di bawah Ayatollah dan Irak di bawah Saddam Husein. Secara pribadi, Ayatollah adalah orang yang sederhana. Hal ini dapat dilihat di Museum Ayatollah Khomeini di daerah Jamaran, Tehran Utara. Ia yang memimpin Iran selama 10 tahun, di saat akhirnya hanya memiliki sepatu tua, jubah sederhana, sebuah kacamata, sebotol parfum, dan satu tongkat, di rumahnya yang sempit. Sebaliknya, di masa akhir Saddam Husein, ia meninggalkan istana dengan isinya yang mewah. Dan saat terjadi kerusuhan di Irak, banyak peninggalan bersejarah yang ikut dijarah. Barang antik, artefak kuno, hilang entah kemana. Tapi di Tehran, Ayatollah mengirimkan pasukan terbaiknya untuk menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah, termasuk milik Shah Iran yang digulingkannya.
Hal itu terbukti saat kawan dari KBRI Tehran (Bapak Iqbal dan Bapak Siradjuddin)mengajak untuk mengunjungi Museum Saadabad Palace. Museum seluas 410 hektar ini dahulu dihuni oleh Shah Iran beserta keluarganya. Di dalamnya terdapat 18 istana yang memuat berbagai kekayaan Shah Iran, mulai dari perhiasan, kendaraan mewah, karpet Persia, dan lainnya. Setelah Revolusi, Istana ini diubah fungsinya menjadi museum. Semua isi istana tersebut saat ini masih ada dan terawat dengan rapi.
Keunikan lain dari Tehran adalah ketertutupan ekonominya. Jangan harap melihat McDonalds, KFC, atau chain resto amerika disini. Sebagian besar restoran adalah versi lokal. Resto asing yang banyak di sini adalah restoran Perancis. Saya sempat mampir di salah satu restoran Prancis, namanya L’entrecote de Tehran. Menu makanannya sama dengan restoran perancis lainnya. Hanya rasanya yang tidak begitu mirip. Mungkin disesuaikan dengan lidah orang Iran. Resto itu juga tidak menyediakan wine, hanya ada bir Islam. Serupa dengan bir tapi non alkohol. Ketertutupan ekonomi Iran juga dapat dilihat dari tidak bisa digunakannya semua jenis kartu kredit internasional. Semua transaksi harus menggunakan kas. Transfer dana dari dan ke luar negeri melalui Bank juga tidak dapat dilakukan. Bank-bank di Iran hanya melayani transaksi lokal. Yang juga merepotkan, telepon seluler tak bisa digunakan. Iran hanya memiliki satu jaringan telpon seluler yang harganyapun sangat mahal. Kartu telpon saja harganya dapat mencapai Rp.10 juta. Akibatnya, tak banyak kita melihat orang menggunakan telpon seluler.
Tapi terlepas dari berbagai hal tersebut, Tehran tetap menyimpan misteri. Misteri yang hanya bisa dirasakan oleh mereka para petualang kehidupan, para pecinta, para kekasih, yang mendambakan cinta sejati …..
0 Comments:
Post a Comment
<< Home